Saturday, February 23, 2013

Hujan


Sore ini Jakarta menjatuhkankan kembali air langitnya. Butiran air yang tersentuh cahaya matahari jingga, membuat jutaan rintik air itu terlihat bagai untaian kristal yang menyejukkan udara dari penatnya kesibukan kota.

Ku seruput kembali secangkir teh hangatku yang kini tinggal setengah. Alunan lembut suara Pia dengan lagunya Hujan menggema di telingaku. Ku tatap foto-foto yang dari tadi menari di layar laptopku. Ada wajahmu, dan aku. Dua anak manusia yang tersenyum dengan seragam putih-abu abunya.

Ku buka lembaran masa lalu yang masih tergambar jelas di benakku. Waktu istirahat udah usai beberapa menit yang lalu, namun anak-anak kelas kita masih saja berkeliaran. Pak matematika tak datang hari ini, yang berarti ada jam kosong sampai 2 jam kedepan. Aku mengambil posisi duduk di koridor tepat di depan pintu kelas, membuka sebuah novel yang belum selesai ku baca. Kamu duduk di sampingku, menyerahkan sebelah headsetmu.

"Nih dengerin.."

Crazy-nya Taylor Swift mengisi rongga telinga kita. Kamu mulai menganggukkan kepala mengikuti irama. Aku mengikuti. Matamu yang semula terpaku pada layar hapemu, kini beralih menatapku. Dalam sekali. Kamu mulai membuka suaramu. Aku tertawa.

"Suaramu false banget!"

"You make me crazier.. Crazier..", kamu tambah semangat. Aku hanya tersenyum.

Ku kais lagi lembaran memori di otakku, mencari kenangan kita yang lain. Ah, sore itu. Sekolah kita diguyur hujan dan menciptakan genangan air. Ku lirik kamu yang melompat lihai saat mendribble bola di lapangan basket. Rintik air sama sekali tak menghalangi pandanganmu.

Three point.

Tanpa permisi, ku rebut bola itu dari tanganmu. Kamu berusaha merebutnya kembali. Aku mulai berlari kecil, mendribble, dan melemparkan bolanya ke arah ring.

"Huuuuu..!", ledekmu. "Kalo ga bisa main basket, jangan sok main", kamu mengacak kepalaku dengan lembut.

Aku hanya tersenyum kecut. Kamu tertawa.

"Nih!", kamu melemparkan bola oranye itu padaku. "Shoot!", ku pandang ring basket yang kamu tunjuk.

"Three poiiint..!!", teriakmu memecah jalur hujan yang ingin memeluk bumi.

Hei, kamu ingat kenangan yang ini? Saat itu roda motormu membawa kita menerobos tumpahan air langit. Kali ini butiran air itu lebih banyak membawa pasukannya. Pandanganmu terhalangi, namun jarum speedometer itu tak turun dari angka 80. Kita berdua basah. Mantel itu tak mampu melindungi terlalu banyak. Kamu tetap melaju, "demi masku", katamu.

Satu lagi butiran air tumpah. Kali ini bukan dari langit. Sinyal dari otak membuat mataku menurunkan hujan.

"Ini, belum di pake", kamu menjulurkan bahumu.

Telingamu menjadi pendengar yang baik kala itu. Seperti langit dan hujannya, aku menumpahkan segala penat yang memenuhi rongga hatiku. Dengan sebuah cerita konyol, kamu menciptakan pelangi setelah tangisku. Kamu membuatku tertawa.

Hujan, selalu berhasil menyeretku ke masa lalu. Diantara butirannya, ada kamu. Apa kabarmu hari ini, tuan? Semoga fakultas farmasi itu tak mengacaukan pikiranmu. Kamu tau, aku merindukan sosokmu. Tak ada sahabat segila kamu disini. Aku yakin kamu juga tak mendapatkan penggantiku disana. Kapan kita bertemu lagi, tuan? Aku ingin menciptakan kenangan lagi bersamamu.

Secangkir tehku sudah habis, tuan. Namun rintik hujan ini masih saja awet membasahi bumi. Seperti persahabatan kita. Apa kau juga memikirkan hal yang sama?